Sejumlah
pokok dalam paparan yang saya tulis mengenai seni grafis di bawah ini
sesungguhnya pernah dimuat sebagai pengantar pameran, atau berupa
tulisan lepas di sejumlah media massa
dan juga sebagai bahan diskusi seputar seni grafis. Mengingat persoalan
seni grafis di Indonesia dari dulu sampai sekarang masih saja berkutat
pada soal ‘perkenalan’ dan ‘pemahaman’, saya kira sejumlah pokok
tersebut masih relevansi dengan situasi sekarang.
***
Di Indonesia, yang memulai seni grafis modern ialah Mochtar Apin, persis ketika pada 1948 dia menerbitkan paket Pantjangan Pertama
berupa seri pahatan lino yang berisikan 12 judul karya pada kertas
berukuran masing-masing 16x21 cm. Di dalam terbitan itu, Mochtar Apin
mengajukan seni grafis sebagai sebuah ‘pengertian’. Sebelumnya, itikad
semacam itu memang sudah dilakukan melalui proyek bersama antara dirinya
dengan Baharuddin Marasutan. Proyek tersebut dikerjakan untuk menyambut
ulang tahun pertama kemerdekaan Agustus 1946. Menurut Apin, gagasan
tersebut bermula dari Baharuddin ditunjang oleh Sekretariat Menteri Urusan Pemuda
pada saat itu. Walhasil, cetakan lino yang banyak merepresentasikan
situasi perjuangan bangsa itu disebarkan ke pelbagai negara, terutama
mereka yang mengakui kedaulatan Indonesia. Tampak jelas bahwa proyek itu
adalah propaganda pemerintah. Dan seni grafis, atau dalam hal ini
teknik cukilan, adalah salah teknik yang paling lekat dengan kepentingan
itu.
Jelas bahwa motif proyek grafis 1946 itu
adalah propaganda, bukan pengertian kita pahami sebagai ‘kesadaran
individu’. Proyek seni grafis 1946 memang merintis perkembangan seni
grafis di Indonesia, akan tetapi sulit dianggap sebagai peristiwa yang
melahirkan sebuah pengertian atau kesadaran tentang otonomi seni grafis
itu sendiri. Kepentingan-kepentingan politik yang menjadi sasaran utama
proyek 1946 itu membuat seni grafis tidak dilihat dari manifestasi
artistiknya, melainkan lebih pada nilai propagandanya. Sifat reproduktif
seni grafis, dalam konteks tersebut, semata diukur berdasarkan fungsi
pragmatisnya, bukan karena kapasitas estetik.
Sebaliknya, proyek Mochtar Apin pada
1948 datang membawa pengertian, tradisi serta kesadaran baru yang belum
pernah dilakukan oleh seniman semasa. Apin menyumbang nilai otonomi dari
sebuah disiplin artistik yang mulanya dipandang sebelah mata. Komitmen
dan konsistensi Apin dalam mendorong popularitas seni grafis tentu tidak
diragukan lagi. Sebelumnya, ketika pada Desember 1947 sejumlah pelukis
Indonesia menggelar pameran di Belanda, Apin adalah satu-satunya seniman
yang menampilkan cetakan cukilan lino di tengah karya lukisan lainnya.
Jangan mengira pada akhir 1940an dunia
seni rupa kita tiba-tiba akrab dengan seni grafis. Pemahaman terhadap -
misalnya salah satu teknik grafis – itu terjadi secara
berangsur-angsur. Pada masa itu orang masih mencampurkan begitu saja
istilah ‘seni lukis’ dengan ‘seni grafis’. Dari sejumlah tulisan di
media massa, masih kita temui orang-orang yang menganggap sejumlah
teknik di dalam seni grafis (cukil, etsa, litografi) adalah bagian atau
cabang dari seni lukis. Salah satu buktinya termuat dalam artikel Suatu Cabang Lagi Dipenuhi (Mimbar
Indonesia, 1948) karangan Rivai Apin - yang kebetulan melaporkan
peluncuran perdana karya-karya cukilan lino saudaranya sendiri, yaitu
Mochtar Apin. Meskipun demikian, asumsi seni grafis adalah bagian seni
lukis atau cukilan lino adalah cabang seni lukis tidaklah mutlak lahir
dari pandangan Rivai Apin. Asumsi yang dia bangun sesungguhnya mengacu
pada ‘kesalahan’ lembar pengantar yang terdapat di dalam paket cukilan
lino tersebut: semoga bertambahlah perhatian umum untuk cabang seni lukis yang baru ini di negeri kita.
Cetakan album cukilan atau pahatan lino Mochtar Apin itu didukung oleh perkumpulan Gelanggang sebagai bentuk dedikasi mereka mempopularkan seni grafis. Gelanggang
menyadari bahwa seni grafis – dalam hal ini cukilan lino – belumlah
dikenal luas. Dibandingkan jenis kesenian lain, cukilan lino tempatnya
masih sangat terpencil. Sayang sekali, dedikasi yang mulia tersebut
diiringi dengan kata pengantar yang merancukan istilah.
Pada lembar pengantar lain, bahkan
Mochtar Apin sendiri menulis bahwa pahatan lino adalah salah satu cabang
yang – bagaimanapun – merujuk seni lukis. Masih di dalam tulisannya,
alih-alih memanfaatkan istilah printmaking, graphic art atau seni grafis, Mochtar Apin malah memasukkan kategori pahatan lino ini ke dalam kategori sifat yakni sebagai reproductive art
- seni yang bisa digandakan, bukan ke dalam terminologi seni itu
sendiri. Bisa kita bayangkan, akibat kerancuan yang dipicu oleh album
cetakan lino itu, orang dibuat gamang menilai entitas seni grafis.
Kegamangan yang justru terjadi disaat seni grafis baru saja berusaha
mengawali perkembangannya sendiri.
Terlepas dari penggunaan istilah yang
merancukan, tulisan Rivai Apin adalah proklamasi kelahiran seni grafis
dengan diwakili teknik cukilan lino, sekaligus proklamasi kemerdekaan
seni grafis menjadi salah satu jenis mandiri. Inisiatif penerbitan album
cukilan lino itu dipandang Rivai Apin sebagai persoalan hidup, jiwa yang mau memperlihatkan bahwa dia itu hidup dan menunjukkan bahwa dia itu sanggup hidup. Menengarai potensi kepentingan politik yang terselip di dalam album itu, Rivai Apin menyatakan bahwa usaha yang semacam ini bukan propaganda, tapi dia menyorongkan kenyataan.
***
Seni grafis bukanlah seni yang otentik
sebab sifatnya yang reproduktif – dapat dicetak berulangkali.
Satu-satunya yang otentik di seni grafis hanya terletak pada plat
cetaknya. Hasil cetakan seni grafis seringkali dianggap kopian, tidak
otentik atau ”tidak asli”. Cetakan seni grafis dengan demikian adalah
juga representasi tentang ketidakaslian tersebut. Mirip dengan
fotografi, karena dapat dicetak, seni grafis dipandang pula sebagai seni
non-auratik, meskipun dia memiliki ‘representasi aura’, sebab hasil
cetakan seni grafis masih menyimpan sejumlah jejak ‘ekspresi’ atau
‘jiwa’ si seniman. Pada gilirannya, publik seni patut memahami seni
grafis dari berbagai sudut.
Celakanya, tak banyak orang yang mau
menerima pemahaman mengenai seni grafis ini. Boleh jadi, dibandingkan
sebuah lukisan, sehelai cetakan grafis mengandung kerumitan tersendiri.
Ini cukup menyebabkan orang kemudian menerimanya dengan setengah hati.
Kita tahu, publik seni rupa Indonesia masih dibekap mitos mengenai ‘aura
seni’ berkaitan dengan otentisitas atau orisinalitas sebuah karya seni -
hal yang selama ini mudah mereka jumpai di lukisan. Akibat terbelenggu
mitos warisan Abad-19 dari Barat inilah, publik seni dengan sendirinya,
tanpa sadar, meredam perkembangan seni grafis maupun jenis seni yang
lain yang memang tidak seauratik lukisan.
Mitos tentang orisinalitas (dari paham
modern) yang diyakini oleh sejumlah orang (terutama publik seni di
Indonesia) berlaku bagi segenap medium seni (khususnya lukisan), tentu
saja tidak bisa disematkan secara absolut ke setiap medium seni. Sifat
reproduktifitas seni grafis tidak bisa disamakan dengan reproduksi.
Resolusi International Congress of Plastic Arts 1960 - yang masih dirujuk sampai sekarang - menerangkan bahwa karya seni grafis pada prinsipnya adalah karya orisinal
dengan pertimbangan kerja tangan seniman berlaku di atas plat cetak dan
hasil cetakannya disetujui oleh seniman. Di luar itu akan disebut
reproduksi (sebuah lukisan dalam cetakan kalender, misalnya, atau suatu
proses pengkopian sebuah lukisan dalam wujud cetakan di atas kertas
sekali pun pengerjaan edisinya terbatas).
Dengan demikian, mitos orisinal ini lalu
membangun sebuah tata nilai bahwa hasil penciptaan seni dari seorang
seniman harus tunggal –tidak memiliki kembarannya di dunia ini. Sifat
‘tunggal’ atau ‘satu’ merupakan refleksi dari keunikan, dan oleh
karenanya berharga. Mereka yang ingin mengoleksi karya seni grafis
seringkali mengalami hambatan dalam menerima konteks ini.
Dalam pandangan mereka, edisi dalam seni
grafis mereduksi nilai keunikan ‘tentang yang satu’ – ‘yang tunggal’
itu. Cukup sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa karya grafis
juga bisa dimiliki oleh orang lain yang secara otentik sama. Di sisi
lain, seniman grafis tak jarang terjebak ke dalam ‘logika umum’ ini
sehingga meminimalisasi sistem pengedisian cetakannya – lalu disesuaikan
dengan kebutuhan kolektor yang membeli karyanya.
Bisa jadi, persoalan ini tak lepas dari
miskinnya pemahaman tentang sistem edisi. Dalam seni grafis, setiap
edisi sejatinya memiliki nilai orisinal, Jaminannya adalah pembubuhan
tandatangan seniman di setiap hasil cetakan berikut pencantuman nomor
urut cetakan. Di luar itu ada hasil cetakan yang akan disebut artist’s proofs (A/P) atau dalam bahasa Spanyol prueba de artista
(P/A). ‘Cetak coba’ ini umumnya berjumlah 5 – 10% dari seluruh edisi
yang direncanakan. Apabila sebuah karya memiliki 50 edisi, maka maskimun
‘cetak coba’ itu berjumlah lima lembar cetakan saja. Berbeda dengan
pencantuman nomor edisi yang lazim ditulis 1/50 (cetakan 1 dari 50),
maka ‘cetak coba’ ini memanfaatkan kode penomoran Romawi: I/V, II/V,
III/V, dan seterusnya. Sejatinya, hasil cetak coba tersebut tidak untuk
diperjualbelikan (biasanya dijadikan koleksi pribadi seniman). Selain
itu ada proses yang disebut trial proofs (T/P) atau pruebas des estado
(P/E) yang menginformasikan proses-proses awal pengerjaan karya hingga
ke hasil akhir (sebelum cetak coba). Proses ini bisanya dilakukan untuk
melihat kualitas pengasaman (dalam intaglio dan litografi, misalnya) dan ukuran tekanan mesin cetak pada plat.
Agar lebih kuat, dewasa ini seniman grafis mencantumkan certificate of authenticity sebagai informasi tambahan bagi kolektor seperti: jumlah total edisi; nomor cetakan; studio tempat pencetakan dilakukan berikut nama pencetaknya (apabila dalam prosesnya memang dibantu); berikut waktu pencetakan dan informasi teknik.
Harus diakui bahwa hal-hal di atas belum
banyak dilakukan oleh seniman grafis di tanah air secara konsisten.
Saya cermati, inkonsitensi demikian pada gilirannya semakin mengaburkan
pemahaman publik terhadap seni grafis itu sendiri.
***
Di tanah air, sampai hari ini, teknik
cetak tinggi (berupa cukilan kayu) menempati posisi yang paling popular.
Teknik ini mendominasi kemunculan teknik-teknik lain semisal: intaglio
(cetak dalam), litografi (cetak datar) dan cetak saring (atau lebih
dikenal sebagai teknik sablon).
Popularitas teknik cetak tinggi disebabkan oleh sejumlah hal: pertama,
cetak tinggi memang merupakan teknik cetak yang relatif mudah diadakan
dibandingkan dengan, misalnya, teknik cetak dalam atau cetak datar –
kedua teknik ini cenderung membutuhkan kelayakan peralatan studio. Kedua, dalam cetak tinggi, seniman berpotensi memaksimalkan ukuran plat cetak (dalam hal ini tripleks, hardboard,
lino) sehingga tak mustahil sebuah karya bisa berukuran sampai dua
meter – suatu hal yang sebaliknya cukup mustahil dilakukan pada teknik
cetak datar atau cetak dalam untuk kapasitas di Indonesia. Melalui
teknik cetak tinggi, tampaknya seniman secara leluasa bisa melakukan
eksperimen visual (misalnya memunculkan cetakan dengan plat berlapis
atau dengan teknik ‘cukil habis’ seraya memanfaatkan tinta-tinta warna
yang beragam).
Popularitas teknik cetak tinggi ini
seakan telah diniscayakan oleh sejarah perkembangan seni grafis itu
sendiri, Pada masa-masa awal pertumbuhannya, hingga lebih dari tiga
dasawarsa kemudian, seringkali memunculkan karya-karya cukilan kayu,
cukilan lino maupun cukilan hardboard. Sepanjang waktu itu pula, kemunculan cukilan diselingi dengan teknik cetak dalam – etsa dan torehan kering (dry point) sering digunakan ketimbang, misalnya mezzotint.
Besar dugaan bahwa pemanfaatan teknik cetak datar (litografi) misalnya, baru muncul belakangan setelah keberadaan (batu) limestone
berikut mesinnya melengkapi peralatan studio di kampus Seni Rupa-ITB
sekira 1950an. Keterbatasan bahan cetak, tingkat kesulitan teknik
kiranya cukup menyebabkan litografi jarang muncul di pelataran seni rupa
tanah air. Kemudian pada awal dekade 1970an, hasil cetakan sablon
sebagai bagian yang sah dari konvensi seni grafis di Indonesia menuai
pengakuan.
***
Kita berharap ke depan, seni grafis bisa
muncul dengan segenap kekuatan tekniknya. Sudah saatnya – saya kira ini
juga berlaku untuk masa-masa yang lalu – seni grafis diterima oleh
khalayak luas, alih-alih memarjinalkan keberadaannya sembari
mengutamakan jenis seni rupa yang lain. Dan semua itu berpulang ke
seniman.
|
0 comments:
Post a Comment